8 Maret 2011

Metode Pembelajaran Afektif


BAB I
PENDAHULUAN

A.        Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, dan lain sebagainya. Dengan demikian pendidikan nilai pada dasarnya merupakan proses penanaman nilai kepada peserta didik sehingga ia dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
B.        Aspek Afektif dalam Proses Pembelajaran
 Belajar dipandang sebagai upaya sadar seorang individu untuk memperoleh perubahan perilaku secara keseluruhan, baik aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Namun hingga saat ini dalam praktiknya, proses pembelajaran di sekolah tampaknya lebih cenderung menekankan pada pencapaian perubahan aspek kognitif (intelektual), yang dilaksanakan melalui berbagai bentuk pendekatan, strategi dan model pembelajaran tertentu. Sementara, pembelajaran yang secara khusus mengembangkan kemampuan afektif tampaknya masih kurang mendapat perhatian. Kalaupun dilakukan mungkin hanya dijadikan sebagai efek pengiring (nurturant effect) atau menjadi hidden curriculum yang disisipkan dalam kegiatan pembelajaran yang utama yaitu pembelajaran kognitif atau pembelajaran psikomotor.
Secara konseptual maupun emprik, diyakini bahwa aspek afektif memegang peranan yang sangat penting terhadap tingkat kesuksesan seseorang dalam bekerja maupun kehidupan secara keseluruhan. Meski demikian, pembelajaran afektif justru lebih banyak dilakukan dan dikembangkan di luar kurikulum formal sekolah. Salah satunya yang sangat populer adalah model pelatihan kepemimpinan seperti ESQ ala Ari Ginanjar.
Oleh karena hal itu, aspek afektif ini sudah semestinya diberikan ruang khusus dalam proses pembelajaran. Agar target serta tujuan dari proses pendidikan yakni untuk memanusiakan manusia dapat terwujud dengan sempurna.

BAB II
PEMBAHASAN
A.        Pengertian Metode Pembelajaran Afektif
Pembelajaran afektif berbeda dengan pembelajaran intelektual dan keterampilan, karena segi afektif sangat bersifat subjektif, lebih mudah berubah, dan tidak ada materi khusus yang harus dipelajari. Hal-hal di atas menuntut penggunaan metode mengajar dan evaluasi hasil belajar yang berbeda dari mengajar segi kognitif dan keterampilan.

B.        Model-model Pembelajaran Afektif
Merujuk pada pemikiran Nana Syaodih Sukmadinata (2005), maka di bawah ini akan dikemukakan beberapa model pembelajaran afektif yang populer dan banyak digunakan, yakni sebagai berikut :
1.         Model Konsiderasi
Manusia seringkali bersifat egoistis, lebih memperhatikan, mementingkan, dan sibuk mengurusi dirinya sendiri. Melalui penggunaan model konsiderasi (consideration model) siswa didorong untuk lebih peduli, lebih memperhatikan orang lain, sehingga mereka dapat bergaul, bekerja sama, dan hidup secara harmonis dengan orang lain.
Model konsiderasi dikembangkan oleh MC. Paul, seorang humanis. Paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognisi yang rasional. Pembelajaran moral siswa menurutnya adalah pembentukan pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain.
Adapun langkah-langkah pembelajaran model konsiderasi adalah :
1)        Implementasi model konsiderasi guru dapat mengikuti tahapan-tahapan pembelajaran seperti berikut:
2)        Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ciptakan situasi ”Seandainya siswa ada dalam masalah tersebut.”
3)        Menyuruh siswa untuk menganalisis sesuatu masalah dengan melihat bukan hanya yang tampak, tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut, misalnya perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang lain.
4)        Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat menelaah perasaannya sendiri sebelum mendengar respons orang lain untuk dibandingkan.
5)        Mengajak siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat  kategori dari setiap respons yang diberikan siswa.
6)        Mendorong siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan siswa. Dalam tahapan ini siswa diajak berpikir tentang segala kemungkinan yang akan timbul sehubungan dengan tindakannya.
7)        Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
8)        Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri.
2.         Model Pembentukan Rasional
Dalam kehidupannya, orang berpegang pada nilai-nilai sebagai standar bagi segala aktivitasnya. Nilai-nilai ini ada yang tersembunyi, dan ada pula yang dapat dinyatakan secara eksplisit. Nilai juga bersifat multidimensional, ada yang relatif dan ada yang absolut. Model pembentukan rasional (rational building model) bertujuan mengembangkan kematangan pemikiran tentang nilai-nilai.
Langkah-langkah pembelajaran rasional :
1)        Mengidentifikasi situasi di mana ada ketidakserasian atu penyimpangan tindakan.
2)        Menghimpun informasi tambahan.
3)        Menganalisis situasi dengan berpegang pada norma, prinsip atu ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam masyarakat.
4)        Mencari alternatif tindakan dengan memikirkan akibat-akibatnya.
5)        Mengambil keputusan dengan berpegang pada prinsip atau ketentuan-ketentuan legal dalam masyarakat.
3.         Klarifikasi Nilai
Setiap orang memiliki sejumlah nilai, baik yang jelas atau terselubung, disadari atau tidak. Klarifikasi nilai (value clarification model) merupakan pendekatan mengajar dengan menggunakan pertanyaan atau proses menilai (valuing process) dan membantu siswa menguasai keterampilan menilai dalam bidang kehidupan yang kaya nilai. Penggunaan model ini bertujuan, agar para siwa menyadari nilai-nilai yang mereka miliki, memunculkan dan merefleksikannya, sehingga para siswa memiliki keterampilan proses menilai.
Langkah-langkah pembelajaran klasifikasi nilai :
1)        Pemilihan. Para siswa mengadakan pemilihan tindakan secara bebas, dari sejumlah alternatif tindakan mempertimbangkan kebaikan dan akibat-akibatnya.
2)        Mengharagai pemilihan. Siswa menghargai pilihannya serta memperkuat-mempertegas pilihannya,
3)        Berbuat. Siswa melakukan perbuatan yang berkaitan dengan pilihannya, mengulanginya pada hal lainnya.
4.         Pengembangan Moral Kognitif
Perkembangan moral manusia berlangsung melalui restrukturalisasi atau reorganisasi kognitif, yang yang berlangsung secara berangsur melalui tahap pra-konvensi, konvensi dan pasca konvensi. Model ini bertujuan membantu siswa mengembangkan kemampauan mempertimbangkan nilai moral secara kognitif.
Model pengembangan kognitif dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model ini banyak diilhami oleh pemikiran John Dewey yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu. Menurut Kolhberg, moral manusia itu berkembang melalui 3 tingkat , dan setiap tingkat terdiri dari 2 tahap.
a.      Tingkat Prakonvensional
Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri. Artinya pertimbangan moral didasarkan pada pandangan secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat.
Tingkat prakonvensional terdiri dari dua tahap, yakni :
1.      Orientasi hukuman dan kepatuhan
Artinya anak hanya berpikir bahwa perilaku yang benar itu adalah perilaku yang tidak akan mengakibatkan hukuman, dengan demikian setiap peraturan harus dipatuhi agar tidak menimbulkan konsekuensi negatif.
2.      Orientasi instrumental relatif
Pada tahap ini perilaku anak didasarka pada perilaku adil, berdasarkan aturan permainan yang telah disepakati.
b.      Tahap Konvensional
Pada tahap konvensional meliputi 2 tahap, yaitu :
1.      Keselarasan interpersonal
Pada tahap ini ditandai dengan perilaku yang ditampilkan individu didorong oleh keinginan untuk memenuhi harapan orang lain.
2.      System social dan kata hati
Pada tahap ini perilaku individu bukan didasarkan pada dorongan untuk memenuhi harapan orang lain yang dihormatinya. Melainkan bagaimana kata hatinya.
c.       Tingkat postkonvensional
Pada tingkat ini perilaku bukan hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap norma-norma masyarakat yang berlaku,akan tetapi didasari oleh adanya kesadaran sesuai dengan nilai-nilai yang dimiliki secara individu.
1.      Kontra sosial
Pada tahap iniperilaku individu didasarkan pada kebenaran-kebenaran yang diakui oleh masyarakat.
2.      Prinsip etis yang universal
Pada tahap ini perilaku manusia didasarkan pada prinsip-prinsip universal.
Langkah-langkah pembelajaran moral kognitif :
1)        Menghadapkan siswa pada suatu situasi yang mengandung dilema moral atau pertentangan nilai.
2)        Siswa diminta memilih salah satu tindakan yang mengandung nilai moral tertentu.
3)        Siswa diminta mendiskusikan/menganalisis kebaikan dan kejelekannya.
4)        Siswa didorong untuk mencari tindakan-tindakan yang lebih baik.
5)        Siswa menerapkan tindakan dalam segi lain.
5.         Model Nondirektif
Para siswa memiliki potensi dan kemampuan untuk berkembang sendiri. Perkembangan pribadi yang utuh berlangsung dalam suasana permisif dan kondusif. Guru hendaknya menghargai potensi dan kemampuan siswa dan berperan sebagai fasilitator/konselor dalam pengembangan kepribadian siswa. Penggunaan model ini bertujuan membantu siswa mengaktualisasikan dirinya.
Langkah-langkah pembelajaran nondirekif :
1)        Menciptakan sesuatu yang permisif melalui ekspresi bebas.
2)        Pengungkapan siswa mengemukakan perasaan, pemikiran dan masalah-masalah yang dihadapinya,guru menerima dan memberikan klarifikasi.
3)        Pengembangan pemahaman (insight), siswa mendiskusikan masalah, guru memberikan dorongan.
4)        Perencanaan dan penentuan keputusan, siswa merencanakan dan menentukan keputusan, guru memberikan klarifikasi.
5)        Integrasi, siswa memperoleh pemahaman lebih luas dan mengembangkan kegiatan-kegiatan positif.
C.      Kesulitan dalam Pembelajaran Afektif
Pertama, selama ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual.dengan demikian keberhasilan proses pendidikan dan proses pembelajaran di sekolah ditentukan oleh criteria kemampuan intelektual.
Kedua, sulitnya melakukan control karena banyaknya factor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang.
Ketiga, keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera. Berbeda dengan keberhasilan pembentukan kognisi dan aspek ketrampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir.
Keempat, pengaruh kemajuan teknologi,khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan aneka pilihan program acara,berdampak pada pembentukan karakter anak.

Tidak ada komentar: