4 Maret 2011

Mengembangkan Teks Kriteria


BAB I

PENDAHULUAN

A.   Pengantar
Mutu pendidikan dipengaruhi banyak faktor, yaitu siswa, pengelola sekolah (kepala sekolah, guru, staf, dan dewan/komite sekolah), lingkungan (orangtua, masyarakat, dan sekolah), kualitas pembelajaran, dan kurikulum (Suhartoyo, 2005:2). Hal senada juga dikemukakan oleh Mardapi (2003:8) bahwa usaha peningkatan kualitas pendidikan dapat ditempuh melalui peningkatan kualitas pembelajaran dan kualitas sistem penilaian. Keduanya saling terkait, sistem pembelajaran yang baik akan menghasilkan kualitas belajar yang baik. Selanjutnya sistem penilaian yang baik akan mendorong guru untuk menentukan strategi mengajar yang baik dan memotivasi siswa untuk belajar yang lebih baik.
Salah satu faktor yang penting untuk mencapai tujuan pendidikan dengan demikian adalah proses pembelajaran yang dilakukan, sedangkan salah satu faktor penting untuk efektivitas pembelajaran adalah faktor evaluasi baik terhadap proses maupun hasil pembelajaran. Evaluasi dapat mendorong siswa untuk lebih giat belajar secara terus menerus dan juga mendorong guru untuk lebih meningkatkan kualitas proses pembelajaran serta mendorong sekolah untuk lebih meningkatkan fasilitas dan kualitas manajemen sekolah.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka di dalam pembelajaran dibutuhkan guru yang tidak hanya mampu mengajar dengan baik tetapi juga mampu melakukan evaluasi dengan baik. Kegiatan evaluasi sebagai bagian dari program pembelajaran perlu lebih dioptimalkan. Evaluasi tidak hanya bertumpu pada penilaian hasil belajar, tetapi juga perlu penilaian terhadap input, output, maupun kualitas proses pembelajaran itu sendiri. Optimalisasi sistem evaluasi menurut Mardapi (2003:12) memiliki dua makna, yaitu 1) sistem evaluasi yang memberikan informasi yang optimal dan 2) manfaat yang dicapai dari evaluasi. Manfaat yang utama dari evaluasi adalah meningkatkan kualitas pembelajaran dan selanjutnya akan terjadi peningkatan kualitas pendidikan.
Bidang pendidikan ditinjau dari sasarannya, evaluasi ada yang bersifat makro dan ada yang mikro. Evaluasi yang bersifat makro sasarannya adalah program pendidikan, yaitu program yang direncanakan untuk memperbaiki bidang pendidikan. Evaluasi mikro sering digunakan di tingkat kelas, khususnya untuk mengetahui pencapaian belajar peserta didik. Pencapaian belajar ini bukan hanya yang bersifat kognitif saja, tetapi juga mencakup semua potensi yang ada pada peserta didik. Jadi sasaran evaluasi mikro adalah program pembelajaran di kelas dan yang menjadi penanggungjawabnya adalah guru (Mardapi, 2000:2).

B.   Kriteria Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
            Tujuan Pendidikan Agama Islam identik dengan tujuan agama Islam, karena tujuan agama adalah agar manusia memiliki keyakinan yang kuat dan dapat dijadikan sebagai pedoman hidupnya yaitu untuk menumbuhkan pola kepribadian yang bulat dan melalui berbagai proses usaha yang dilakukan. Dengan demikian tujuan Pendidikan Agama Islam adalah suatu harapan yang diinginkan oleh pendidik Islam itu sendiri.
Pembelajaran yang sering juga disebut dengan belajar mengajar, sebagai terjemahan dari istilah instructional terdiri dari dua kata, belajar dan mengajar. Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Hal ini sesuai dengan pendapat Woolfolk dan Nicolich (1984:159) yang mengatakan bahwa learning is a change in a person that comes about as a result of experience. Belajar adalah perubahan dalam diri seseorang yang berasal dari hasil pengalaman. Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuan, kecakapan, dan kemampuan, daya reaksi, dan daya penerimaan yang ada pada individu (Sujana dan Ibrahim, 2004:28).
Sama halnya dengan belajar, mengajar pun pada hakikatnya adalah suatu proses, yakni proses mengatur, mengorganisir lingkungan yang ada di sekitar siswa sehingga menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan kegiatan belajar. Hal ini dipertegas oleh Sudjana (2002:29) yang menyatakan bahwa mengajar adalah suatu proses mengatur dan mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar siswa sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan kegiatan belajar.







BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengembangan Budaya pada Pembelajaran PAI
Williams (dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, 2005), mengungkapkan bahwa istilah “budaya” sejalan dengan perubahan-perubahan historis dapat direfleksikan ke dalam tiga arus penggunaan istilah; yaitu : 1) yang mengacu pada perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis dari seorang individu, sebuah kelompok, atau masyarakat, 2) yang mencoba menekankan khazanah kegiatan intelektual dan artistic sekaligus produk-produk yang dihasilkan (film, benda-benda seni, dan teater) Dalam penggunaan ini budaya kerap didentikkan dengan istilah “kesenian”(the Arts), 3) yang menggambarkan keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-keyakinan, dan adat kebiasaan sejumlah orang, kelompok, atau masyarakat (hal. 8).
Kemudian budaya juga dipaparkan dari peta kebinekaan pengertiannya (dari dua tokoh Antropologi yaitu : Kroeber dan Kluckhon) yakni menggambarkan enam pemahaman pokok; yakni : 1) Definisi deskriptif: 2) Definisi Historis, 3) Definisi Normatif, 4) Definisi Psikologis, 5) Definisi Struktural, dan 6) Definisi Genetis.
1)        Definisi Deskriptif. Definisi ini cenderung melihat budaya sebagai totalitas komprehensif yang menyusun keseluruhan hidup sosial sekaligus menunjukkan sejumlah ranah (bidang kajian) yang membentuk budaya,
2)        Definisi histories Definisi ini cenderung melihat budaya sebagai warisan yang dialih-turunkan dari generasi satu ke generasi berikutnya,
3)        Definisi normatif Definisi ini bisa mengambil dua bentuk. Pertama budaya adalah aturan atau jalan hidup yang membentuk pola-pola perilaku dan tindakan yang konkret. Kedua menekankan peran gugusan nilai tanpa mengacu pada perilaku. 
4)        Definisi psikologis Definisi ini cenderung memberi tekanan pada peran budaya sebagai piranti pemecahan masalah yang membuat orang bisa berkomunikasi, belajar, atau memenuhi kebutuhan material maupun emosionalnya,
5)        Definisi structural, Definisi ini menunjuk pada hubungan atau keterkaitan antara aspek-aspek yang terpisah dari budaya sekaligus menyoroti fakta bahwa budaya adalah abstraksi,
6)             Definisi genetis, Definisi ini melihat asal-usul bagaimana budaya itu bisa eksis atau tetap bertahan, dan definisi ini cenderung melihat budaya lahir dari interaksi antar manusia dan tetap bisa bertahan karena ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya (hal. 9).
                Sekolah (sebagai lembaga pendidikan), memiliki amanat untuk mengembangkannya secara integratif dan tidak terbatasi oleh nilai-nilai yang terkandung dalam mata pelajaran saja; melainkan lebih dari itu adalah sebagai esensi-esensi nilai budaya/kebudayaan secara utuh yang berakar di masyarakat. Budaya/kebudayaan harus diterapkan dalam konteks yang lebih luas untuk pengembangan akal budi dan sikap perilaku manusia lewat pembelajaran. Sekolah yang sengaja dilembagakan dan diperan-fungsikan untuk mengembang kan potensi anak didiknya sebagai individu yang datang dari keluarga dan lingkungan masyarakat (baca: yang telah memiliki aspek-aspek kehidupan dan perilaku serta kesadaran untuk secara bersama dalam satu budaya, yakni sikap, nilai moral, keyakinan, dsb.), maka sekolah memiliki multiperan, yakni : berperan sebagai subtitusi keluarga dan orang tua, subtitusi masyarakat juga subtitusi bangsa dan pemerintah.

B.   Pengembangan Kognitif, Afektif dan Psikomotor
      Pembelajaran afektif berbeda dengan pembelajaran intelektual dan keterampilan, karena segi afektif sangat bersifat subjektif, lebih mudah berubah, dan tidak ada materi khusus yang harus dipelajari. Hal-hal di atas menuntut penggunaan metode mengajar dan evaluasi hasil belajar yang berbeda dari mengajar segi kognitif dan keterampilan.
      Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, dan lain sebagainya. Dengan demikian pendidikan nilai pada dasarnya merupakan proses penanaman nilai kepada peserta didik sehingga ia dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
      Belajar dipandang sebagai upaya sadar seorang individu untuk memperoleh perubahan perilaku secara keseluruhan, baik aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Namun hingga saat ini dalam praktiknya, proses pembelajaran di sekolah tampaknya lebih cenderung menekankan pada pencapaian perubahan aspek kognitif (intelektual), yang dilaksanakan melalui berbagai bentuk pendekatan, strategi dan model pembelajaran tertentu. Sementara, pembelajaran yang secara khusus mengembangkan kemampuan afektif tampaknya masih kurang mendapat perhatian. Kalaupun dilakukan mungkin hanya dijadikan sebagai efek pengiring (nurturant effect) atau menjadi hidden curriculum yang disisipkan dalam kegiatan pembelajaran yang utama yaitu pembelajaran kognitif atau pembelajaran psikomotor.
      Secara konseptual maupun emprik, diyakini bahwa aspek afektif memegang peranan yang sangat penting terhadap tingkat kesuksesan seseorang dalam bekerja maupun kehidupan secara keseluruhan. Meski demikian, pembelajaran afektif justru lebih banyak dilakukan dan dikembangkan di luar kurikulum formal sekolah. Salah satunya yang sangat populer adalah model pelatihan kepemimpinan seperti ESQ ala Ari Ginanjar.
      Oleh karena hal itu, aspek afektif ini sudah semestinya diberikan ruang khusus dalam proses pembelajaran. Agar target serta tujuan dari proses pendidikan yakni untuk memanusiakan manusia dapat terwujud dengan sempurna.

C.   Pengembangan Lifeskill
            Pendidikan, seperti yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang : Sistem Pendidikan Nasional, adalah “ usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran untuk memberdayakan peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengemdalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,bangsa dan Negara. (Bab I, Pasal 1, (butir 1) ). Pada (butir 2-nya), dimaktubkan bahwa “ Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”.
Oleh karena itu pendidikan nasional melakukan pembaharuan system melalui pembaruan visi, misi, fungsi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional (baca: sebagaimana termaktub dalam “Penjelasan UURI N0. 20, tahun 2003): Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya system pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa semua Warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan yang selalu berubah”.
      Misi Pendidikan Nasional :
1)      mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia,
2)      Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar,
3)      meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral,
4)      Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan
5)      Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsipnotonomi dalam konteks Negara kesatuan Republik Indonesia.
                Dengan demikian kecerdasan dan kearifan itu pula akan diperlukan untuk menghindarkan benturan budaya dengan segala aspeknya. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah mencari strategi untuk menjaga, memilihara, dan terus mengembangkan ketahan bangsa dan Negara, ketahanan masyarakat, ketahanan lembaga social dan ketahanan sekolah, ketahanan keluarga dan ketahanan diri seiring dengan terus megikuti dinamisnya masyarakat dunia yang menglobal ini.
            Persoalan lain adalah bagaimana kita memposisikan dan memerankan diri, karena posisi mengindikasikan dimana seseorang berada dalam sebuah ruang (sosial), sedang peran (sosial) adalah perilaku yang ditentukan dan diharapkan karena suatu posisi tertentu yang ditempati seseorang, oleh karena itu bagaimana kita memandang, memposisikan dan memerankan diri sejalan dengan lembaga sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan anak-anak bangsa ini harus memiliki ketahan budaya yang kuat dan tepat.


D.   Kerjasama dengan Konselor
Bimbingan dan konseling merupakan bagian yang integral dari proses pendidikan dan memilki konstribusi terhadap keberhasilan proses pendidikan di sekolah. Berdasarkan pernyataan diatas dapat dipahami bahwa proses pendidikan disekolah ternasuk madrasah tidak akan berhasil secara baik apabila tidak didukung oleh bimbngan secara baik pula. (Thohirin, 2007: 12).
Secara umum tujuan bimbingan dan konseling adalah agar manusia atau individu mampu memahami potensi-potensi insaniahnya, dimensi kemanusiaannya termasuk memahami berbagai persoalan hidup dan mencari alternatif pemecahannya. Apabila pemahaman akan potensi insaniah dapat diwujudkan dengan baik, maka individu akan tercegah dari hal-hal yang dapat merugikan orang lain. (Thohirin, 2007: 51).
Berkaitan dengan masalah proses belajar mengajar di sekolah, siswa maupun guru yang akan melakukan dinamisasi, dalam arti proses belajar mengajar tersebut merupakan sarana untuk mengembangkan diri dan ilmu pengetahuan, sikap maupun akhlaq. Hanya saja proses belajar tersebut tidak selamanya berjalan tanpa hambatan. Hambatan atau rintangan akan senantiasa muncul setiap waktu baik itu kesulitan mengajar guru, kesulitan belajar siswa dan sebagainya.
Sekolah dan madrasah memiliki tanggung jawab yang besar untuk membantu siswa agar berhasil dalam belajar, untuk itu sekolah dan madrasah hendaknya memberikan bantuan kepada siswa untuk mengatasi masalahmasalah yang timbul dalam kegiatan belajar siswa. Dalam kondisi seperti ini, pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah dan madrasah sangat penting untuk dilaksanakan guna membantu siswa dalam mengatasi masalah yang dihadapinya. (Thohirin, 2007: 12).
Keberadaan bimbingan dan konseling di sekolah yang berperan untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam berbagai hal terutama masalah kesulitan belajar harus senantiasa mendapat perhatian yang serius agar kesulitan belajar tersebut dapat segera teratasi. Dari sini peranan bimbingan dan konseling di sekolah mulai diperlukan dan bukan saja untuk mengatasi kesulitan belajar siswa akan tetapi juga membantu guru dalam mengenal siswanya secara lebih dalam sehingga bimbingan dan konseling lebih sistimatis dan bermutu.
Bimbingan dan konseling yang keberadaannya semakin dibutuhkan dalam dunia pendidikan merupakan suatu badan yang mempunyai fungsi sangat penting. Dengan kata lain bimbingan dan konseling mempunyai peran dalam mencarikan jalan keluar dari setiap kesulitan yang dihadapi siswa dalam proses belajar mengajar. Bimbingan dan konseling berfungsi untuk membantu kelancaran pendidikan dan pengajaran di sekolah, artinya dengan adanya bimbingan dan konseling di sekolah secara intensif akan member dampak baik secara langsung maupun secara tidak langsung yang akhirnya akan kembali pada keberhasilan pendidikan.
Dalam sebuah lembaga atau institusi pendidikan kebanyakan pelaksanaan bimbingan dan konseling selama ini banyak bertindak sebagai “polisi sekolah” yang mengedepankan kekerasan dalam pelaksanaannya. Sehingga hal ini menjadikan peran dan fungsi bimbingan dan konseling dalam mengatasi atau menyelesaikan sebuah permasalahan menjadi kurang berjalan sebagaimana mestinya.
Padahal dalam lingkungan sebuah lembaga pendidikan terutama di sekolah atau di madrasah, para siswa di lingkungan tersebut banyak yang mengalami hambatan atau kendala dalam proses kegiatan belajar mengajar dan semua hambatan atau kendala yang dialami siswa tersebut menyebabkan para siswa kesulitan belajar sehingga hal ini pun juga berpengaruh pada prestasi belajar siswa di lingkungan sekolah atau madrasah tersebut.
















BAB III
P E N U T U P

A.     Saran
Mengevaluasi keberhasilan program pembelajaran tidak cukup hanya dengan mengadakan penilaian terhadap hasil belajar siswa sebagai produk dari sebuah proses pembelajaran. Kualitas suatu produk pembelajaran tidak terlepas dari kualitas proses pembelajaran itu sendiri. Evaluasi terhadap program pembelajaran yang disusun dan dilaksanakan guru sebaiknya menjangkau penilaian terhadap: 1) desain pembelajaran, yang meliputi kompetensi yang dikembangkan, strategi pembelajaran yang dipilih, dan isi program, 2) implementasi program pembelajaran atau kualitas pembelajaran, dan 3) hasil program pembelajaran.
Penilaian terhadap hasil program pembelajaran tidak cukup terbatas pada hasil jangka pendek atau output tetapi sebaiknya juga menjangkau outcome dari program pembelajaran. Berbagai model evaluasi program dapat dipilih oleh guru maupun sekolah untuk mengadakan evaluasi terhadap keberhasilan program pembelajaran. Pemilihan suatu model evaluasi akan tergantung pada kemampuan evaluator, tujuan evaluasi serta untuk siapa evaluasi itu dilaksanakan.
Sistem evaluasi harus difokuskan dengan jelas pada proses perbaikan daripada pertanggungjawaban untuk produk akhir. Sistem ini harus dioperasikan dekat dengan titik intervensi (obyek yaitu sekolah) untuk perubahan. Pendekatan analisis evaluasi pembelajaran dikembangkan dalam memenuhi kebutuhan sekolah. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi evaluasi di bidang pendidikan harus ditangani dengan analisis multivariat sehingga dapat memberikan bimbingan kepada pengawas sebagai upaya perubahan.

B.    Kesimpulan
Tujuan pembelajaran PAI di sekolah diantaranya adalah (1) menumbuh-kembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang Agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT, dan (2) mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.
Terbentuknya peserta didik yang cerdas menjadi salah satu tujuan PAI, walaupun bukan yang utama. Cerdas dapat dimaknai sebagai cerdas secara intelektual (intelligence quotient-IQ), cerdas secara emosional (emotional quotient-EQ), dan cerdas secara spritual (spiritual quotient-SQ). Realitas di adrasah menunjukkan bahwa, proses pembelajaran PAI masih belum memberikan ruang yang luas dalam melatihkan kecerdasan peserta didik, baik secara intelektual, emosional maupun secara spritual.
Pembelajaran PAI masih berupa penyampaian teori atau konsep tentang agama Islam. Pertanyaannya adalah bagaimana proses pembelajaran PAI yang dapat melatihkan kecerdasan peserta didik, baik secara intelektual, emosional, maupun secara spiritual? Proses pembelajaran PAI yang dapat melatihkan kecerdasan peserta didik secara intelektual, yaitu dengan mengubah cara mengajar dari “menyampaikan informasi” menjadi “melatihkan berpikir” atau mengubah cara belajar dari “mendengar” menjadi “berpikir”. Metode pembelajaran PAI yang digunakan oleh guru, berubah dari “ceramah” menjadi “problem solving”,” inquiry”, atau “investigative”.
Proses pembelajaran PAI yang dapat melatihkan kecerdasan intelektual peserta didik selain metode mengajar yang dilakukan guru harus berubah, alternatif lain adalah dengan mengubah cara melakukan evaluasi hasil belajar. Model evaluasi hasil belajar siswa yang dikembangkan guru pada umumnya masih belum memberikan ruang berpikir tingkat tinggi kepada peserta didik. Kalaupun ruang berpikir itu ada, namun kemampuan berpikir pada level rendah masih sangat dominan.







DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2004. Evaluasi Program Pendidikan. Bandung: Bumi Aksara.
Daryanto.1999. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta
Mardapi, D. 2000. Evaluasi Pendidikan. Makalah disajikan dalam Konvensi Pendidikan Nasional, Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, 19-23 September.
Sudjana, N. 2002. Dasar-dasar Proses Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Sudjana, N., dan Ibrahim. 2004. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Tidak ada komentar: